Senin, 27 Februari 2012

Opu Daeng Risaju

“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.” (Opu Daeng Risaju,Ketua PSII Palopo 1930)

Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu,ketika Datu Luwu Andi Kambo membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu, selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina. Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra,hal 133).Namun Opu Daeng Risaju,rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa menerima aktivitasnya.Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan membuat dia rela mengorbankan dirinya.
Perempuan fenomenal ini,memiliki nama kecil Famajjah.Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880,ia hasil perkawinan antara antara Opu Daeng Mawelu dengan Muhammad Abdullah To Bareseng.Opu Daeng Mawelu adalah anak dari Opu Daeng Mallongi,sedangkan Opu Daeng Mallogi adalah anak dari Petta Puji.Petta Puji adalah anak dari La Makkasau Petta I Kera,sedangkan La Makkasau Petta I Kera adalah anak Raja Bone ke 22 La Temmasonge Matinroe Ri Mallimongeng (memerintah tahun 1749-1775) dari hasil perkawinannya dengan Bau Habibah puteri Syek Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.La Temmassonge Matinroe Ri Mallimongeng adalah putera Raja Bone ke 16 La Patau Matanna Tikka (memerintah antara tahun 1696-1714) dari hasil perkawinannya dengan We Ummu Datu Larompong puteri Datu Luwu Matinroe Ri Tompo Tikka.dari silsilah keturunan Opu Daeng Risaju tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ia berasal dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe Maraja,yaitu:Gowa,Bone dan Luwu.(Muh.Arfah & Muh.Amir:Biografi Pahlawan:Opu daeng Risaju,hal 39).
Fammajah adalah seorang gadis hitam manis yang lincah dan berwajah serius,Ia banyak mengisi masa kecilnya dengan menamatkan Al-Quran,mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaiman Datuk Patimang,atas bimbingan seorang ulama dan beberapa orang guru agama.Selain itu ia mempelajari nahwu,syara dan balaqhah,yang merupakan dasar bagi pengkajian ilmu-ilmu agama yang lebih tinggi.Pengetahuan tentang baca tulis huruf Latin berkat ketekunannya sendiri.Lain halnya dengan tokoh-tokoh pelopor wanita lainnya sperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika,Maria Walanda Maramis,Rasuna Said dan lain-lain setidaknya mempunyai pendidikan formal tingkat menengah.Opu Daeng Risaju tidak pernah diasuh dibangku sekolah atau belajar secara formal dari pendidikan buatan Hindia Belanda.


***
Pertemuannya dengan Haji Agus Salim ketika beliau datang berkunjung ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan dalam rangka konferensi Partai Sarekat Islam di Pare-pare,membekas dalam ingatan Opu Daeng Risaju.Kesamaan cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera dan melepaskan dari cengkraman penjajah Belanda yang dijelaskan oleh Haji Agus Salim sebagai tujuan pendirian Partai Sarikat Islam,membuat Opu Daeng Risaju semakin bersemangat untuk berjuang.
Setelah berhasil mempropagandakan PSII kepada keluarga, sahabat dan masyarakat di Palopo, Opu Daeng Risaju bersama Achmad Tjambang, Beddu, Tjukkuru Daeng Manompo, Daeng Malewa, Ambo Rasia, Ambo Baso, Imam Buntu Siapa, Parakkasi, Sigoni, dan Mudhan, mempermaklumatkan berdirinya PSII Cabang Palopo dalam suatu rapat umum. Opu Daeng Risaju sendiri bertindak sebagai ketua, dibantu sekretaris Achmad Cambang dan bendahara Mudhan.
Permakluman berdirinya PSII ini tentu saja menggelisahkan para pejabat Belanda dan pembesar-pembesar kerajaan, termasuk raja Luwu sendiri. Mereka khawatir karena PSII ketika itu telah mengambil kebijaksanan yang bersifat noncooperatif dengan pemerintah, Dan, apa yang mereka khawatirkan itu memang terbukti dikemudian hari. Opu Daeng Risaju bersama dengan teman-temannya menempuh pula kebijaksanaan noncooperatif dengan penguasa Belanda dan bahkan dengan penguasa kerajaan. Sikap noncooperatifnya inilah yang pada akhirnya menjebloskannya ke dalam penjara Belanda. 
Tak lama sesudah diresmikan berdirinya, PSII berkembang dengan pesat dan berhasil membuka ranting di beberapa daerah dalam wilayah kerajaan Luwu. Salah satu rantingnya adalah Malangke. Pada akhir tahun 1930, pengurus dan anggota PSII Ranting Malangke mengundang Opu Daeng Risaju untuk berbicara dalam suatu rapat umum. Pembicaraan Opu Daeng Risaju dalam kesempatan itu dinilai oleh kepala Distrik Malangke sebagai suatu pidato propokatif yang menghasut rakyat untuk tidak taat kepada pemerintah. Kepala distrik Malangke segera melaporkan hal itu kepada kontroleur di Masamba. Atas laporan tersebut dikerahkanlah polisi untuk menangkapnya dan membawanya ke Palopo untuk diperhadapkan ke pengadilan. Tetapi, sebelum diadili ¾ atas dasar pertimbangan kemanusian karena dia perempuan dan seorang bangsawan tinggi ¾ Assisiten Resident Luwu meminta dulu kepada Datu Luwu Andi Kambo, agar membujuknya supaya meninggalkan partainya dan menghentikan kegiatan politiknya. Kalau bersedia maka dia akan dibebaskan dari segala tuntutan.Namun ia menolaknya,itulah yang menyebabkan dia harus dijebloskan dalam penjara Belanda.
Opu Daeng Risaju adalah seorang perempuan Bugis yang meletakkan makna konsistensi perjuangan dalam dirinya.Opu Daeng Risaju adalah seorang social agency (agen perubahan social), menurut Lyod (1999:93-95),dalam satu masyarakat selalu terdapat apa yang disebut sebagai social agency,yakni ”individu” atau ”kelompok” otonomis yang berada dan menjadi bagian masyarakat tetapi mempunyai power,authority, dan kharisma untuk bertindak sebagai ”aktor” yang mengatur dan mengendalikan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.Besar kecilnya authority yang dimilikinya,tergantung pada kemampuan masing-masing.Besar kecilnya power yang mereka miliki tergantung pada kedudukannya dalam struktur sosial, baik formal maupun non formal.Adapun kharisma yang dimiliki social agency tentu biasanya bersifat irasional, namun selalu juga terkait dengan authority dan power.Makin tinggi posisi dan kedudukan seseorang dalam struktur, makin tinggi pula authority, power, dan kharismanya.
Opu Daeng Risaju adalah potret nyata eksistensi perempuan Sulawesi Selatan dalam menggerakkan realitas sosial masyarakatnya justru ketika bangsa ini masih berada dalam cengkraman penjajahan Belanda.Ia begitu teguh dengan keyakinannya seolah mengingatkan kita pada pada Joan D Ard,perempuan Prancis yang memimpin peperangan dalam melawan Inggris pada abad pertengahan.Opu Daeng Risaju adalah potret nilai konsistensi manusia dalam memperjuangan rakyat yang masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian.Juga refleksi bagi tokoh-tokoh agama hari ini untuk lebih memposisikan diri dibarisan terdepan dalam membela kepentingan ummat agar bebas dari pembodohan,kemiskinan,dan kezaliman.

Kronologis:
1880 : Lahir di Palopo
1912 : Berdirinya Sarekat Islam di Solo
1913 : Berdirinya Sarekat Islam di Makassar
1913 : Kongres Sarikat Islam Pertama di Surabaya
1914 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Mandar di Pamboang
1921 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Sinjai
1927 : Opu daeng Risaju menjadi anggota SI cabang Pare-Pare
1928 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Barru
1929 : Berdirnya Sarikat Islam Cabang Pambusuang
1929 : Kelompok Pappadang (kelompok padagang Mandar) mendirikan Sarikat Mandar di Padang Sumatera Barat.
1929 : Perubahan nama dari Sarikat Islam ke Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
1930 : PSII menerima 3 anggota baru dari golongan Adat yang potensial yakni: Andi Abdul Kadir anggota Swapraja Tanete/Barru, Datu Hj.Andi Ninnong anggota Swapraja Wajo dan Opu Daeng Risaju anggota Swapraja Luwu.
1930 : Pendirian Cabang PSII Cabang Luwu,Wajo dan Tanete/Barru
1930: Opu Daeng Risaju menghadiri Kongres PSII di Pare-Pare.Bertemu dengan pengurus Pusat PSII H.Agus Salim dan A.M.Sangaji.
1930: Opu daeng Risaju mendirikan ranting PSII di Malangke sebagai bagian dari Cabang PSII Luwu.
1930: Aktivitas radikal di PSII membuat Belanda menjatuhkan vonis 13 bulan penjara untuk Opu Daeng Risaju.
1930: Penangkapan Opu Daeng Risaju menyulut solidaritas rakyat bahkan membuat PSII semakin bekembang.
1932: Mendirikan Ranting PSII di Malili
1932: Ditangkap bersama suaminya H.Muhammad Daud di distrik Pitumpanua.Selanjutnya mereka dibawa ke Kolaka.Kemudian di bawa lagi Palopo.
1932: Mendapat Sangsi Adat dengan pencoptan gelar kebangsawanan karena tidak menghentikan aktivitas perjuangannya.Dan bercerai dengan suaminya karena suaminya mendapat tekanan kelompok adat dan Belanda waktu itu.
1933: Berangkat ke Jawa mengikuti Kongres Majelis Taklim PSII di Batavia (Jakarta)
1934: Mendapat hukuman penjara 14 bulan
1935: Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa meninggal dunia dan digantikan Datu Andi Jemma yang lebih pro pada perjuangan Opu Daeng Risaju.
1942: Sulawesi Selatan resmi dikuasai oleh Jepang.Pelarangan semua organisasi sosial maupun politik termasuk PSII oleh rezim Jepang.
1942: Pembunuhan Ahmad Cambbang salah satu tokoh PSII Luwu karena penentangan terhadap kebijakan Jepang.
1945:Kemerdekaan Indonesia dan Jepang menyerah pada sekutu.
1946:Anggota PSII dan kelompok pemuda melakukan perlawanan terhadap NICA atas instruksi dari Opu Daeng Risaju.Mereka menyerang pusat kegiatan NICA di Bajo Palopo Selatan.
1946:Nica melakukan serangan balasan ke Belopa serta memburuh Opu Deang Risaju yang dianggap sebagai penggerak perlawanan rakyat.
1947:Opu Daeng Risaju ditangkap di Bone oleh NICA.dan dihukum 11 bulan penjara.
1949:Opu Daeng Risaju tinggal di Pare-Pare ikut anaknya H.Abdul Kadir Daud
1959:Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.227/P.K. tertanggal 26 Februari 1959 memberikan tunjangan penghargaan pada Opu Daeng Risaju dari Palopo sesuai dengan PP No 38 
1964: Opu Daeng Risaju menghembuskan nafas terakhir dan dikuburkan di perkuburan Raja-Raja Lakkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang meninggal.

Read more...

Sejarah Kahar Muzakkar



SEJARAH SINGKAT
Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya La Domeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.
Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.

Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar

Tertembaknya Kahar Muzakkar
TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.
Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ”Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,” kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi’i dari Gatra.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu tapi Sadeli, yang ditemui dirumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.
Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka –dari Jawa Barat hingga Makassar– telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir Jenderal Andi Muhammad Jusuf.
Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.
Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.
Sadeli, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ”Saya tegang, senjata pun macet,” kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.
Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ”Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,” bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.
Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ”Kahar geus beunang… hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),” Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.
Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. Toh, keberhasilan regu Umar Sumarna, dan Ili Sadeli, tak lantas mengakhiri sejarah Kahar Muzakkar. Kontroversi mengenai kematian Kahar justru muncul setelah penembakan ini.
Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh Ili Sadeli bukanlah Kahar yang sebenarnya. Kahar yang asli, menurut mereka, telah lenyap menyembunyikan diri. Kontroversi inilah yang terus berkembang hingga 36 tahun setelah penembakan oleh Ili Sadeli ini (baca: Reinkarnasi Kontrarevolusi).

Jusuf Menolak Memberitahu
Ketidakjelasan di mana jenazah Kahar Muzakkar dikuburkan juga menambah kecurigaan bahwa Kahar tak benar-benar mati. Hasan Kamal Muzakkar, 52 tahun, anak sulung Kahar dari istrinya, Corry van Stenus, mewakili keluarganya pernah datang pada M. Jusuf untuk meminta keterangan tentang makam ayahnya. Tapi, Jusuf menolak memberitahu.

Jenderal M. Jusuf
”Menurut Jusuf, kalau letak kuburan Kahar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan. Itu syirik,” kata Hasan Kamal Muzakkar kepada Gatra. Membisunya M. Jusuf soal makam Kahar ini menyebabkan di masyarakat muncul banyak versi tentang di mana sebenarnya letak makam Kahar.
Salah satu versi menyebutkan, berdasarkan salah satu sumber intelijen di TNI Angkatan Darat, ketika jenazah dibawa ke Jakarta, sebenarnya ada dua peti jenazah. Satu dibuang ke laut, satu peti lainnya dibawa lagi ke Makassar dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Ini menyebabkan sebuah kuburan tak bernama di sebelah kiri gerbang taman makam pahlawan dianggap sebagai kuburan Kahar Muzakkar.
Versi lain datang dari KH Mas’ud, kerabat dekat Kahar Muzakkar. Menurut versi ini, makam Kahar Muzakkar sebenarnya terletak dekat sebuah pohon besar di dekat jalan menuju Bandara Makassar. Semua kesimpangsiuran mengenai letak makam Kahar –kalau jenazahnya benar dikuburkan– membuat kepercayaan tentang masih hidupnya Kahar terus terpelihara.
Hingga kini, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Zaenal Dalle, di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, tempat kelahiran dan basis perjuangan Kahar, pendatang perlu berhati-hati bila bercakap bahwa Kahar telah wafat. Sebab, bisa-bisa akan kena damprat penduduk setempat yang fanatik pada Kahar, dan percaya ia masih hidup.
Pada 1989, sebuah jajak pendapat yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin memperoleh hasil yang mengejutkan. Jajak pendapat itu mengambil sampel 200 responden, warga Makassar berusia 19-23 tahun –yang tentu saja tak bersentuhan langsung dengan gerakan DI/TII. Hasilnya; 75% yakin bahwa Kahar Muzakkar masih hidup!
Toh, bagi istri kedua Kahar, Corry van Stenus, kini 78 tahun, kematian suaminya adalah sebuah kepastian. Ia memang tak menyaksikan langsung jasad Kahar. Tapi, bagi Corry, isyarat perpisahan dari Kahar jauh lebih ia percayai. Ketika pasukannya mulai berkurang, Kahar sempat meminta Corry bersembunyi bersama anak bungsunya, Abdullah Mudzakkar, yang baru berusia delapan tahun.

Isyarat Perpisahan
”Saya titipkan untukmu satu peleton pasukan inti. Pergilah,” kata Kahar. Lalu Corry pun diantar Kahar ke salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak bisa menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, ”Istriku, barangkali inilah pertemuan kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.”
Bagi Corry, ucapan Kahar itulah isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak berpesan banyak. ”Jaga kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar jadi anak yang saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar,” kata Corry dengan nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.
Corry mengenang, Kahar, yang terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung kesedihannya yang mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar untuk memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca kabar kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.
Corry pun turun gunung, dan berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi, M. Jusuf –yang bertanggung jawab atas jenazah Kahar– melarang Corry melihat jenazah suaminya. ”Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah diangkut dengan heli menuju Makassar,” kata Corry.
Beruntung, sebelumnya M. Jusuf sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan Farida, yang ditemani suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia, Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar. Sebab, ada bekas eksem di kaki, leher, serta cambangnya.
Kahar, yang kelak penuh mitos ini, sebenarnya lahir dari keluarga biasa. Dengan nama Kahar, ia lahir pada 24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, Luwu, Sulawesi Selatan, dari lingkungan keluarga Bugis-Luwu yang dikenal memiliki keberanian luar biasa. Kahar pun sejak kecil menunjukkan keberaniannya. Ia sangat suka main perang-perangan. Kalau berkelahi, ia tak pernah kalah.

Mengawal Soekarno
Ayah Kahar, yang bernama Malinrang, memiliki banyak sawah dan ladang. Walau tak berasal dari kalangan bangsawan, ayah Kahar memiliki kemampuan berdagang yang baik, sehingga punya banyak uang dan disegani masyarakat. Tapi uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar ”La Domeng”, alias tukang main domino.
Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo, Jawa Tengah, untuk belajar di sekolah Mualimin Muhammadiyah. Konon, di sekolah inilah KH Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) –negara yang didirikan Kahar– pertama kali bertemu tokoh ini.
Sulaeman Habib pulalah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, mengambil nama seorang guru sekolah Mualimin, yang bernama Kahar Muzakkir. Namun, Kahar tak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.
Di Luwu, Kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, Nippon Dahopo. Tapi, sikap antifeodalisme dan antipenjajahan Kahar terlalu kental. Akibatnya, ia tak hanya dibenci Jepang, Kahar pun tak disukai Kerajaan Luwu. Kahar difitnah. Ia dituduh mencuri. Kerajaan pun menghukumnya dengan hukum adat: diusir dari Luwu.
Maka, untuk kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halamannya, balik ke Solo. Di kota ini, ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Tapi, ternyata Kahar lebih tergoda oleh pergerakan kemerdekaan. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta.
Di Ibu Kota, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi. Di Jakarta pula Kahar membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.

Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI

Menghadang Bayonet Jepang
Ketika Bung Karno dan Bung Hatta didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang. Dengan berani, Kahar mendesak mundur bayonet-bayonet pasukan Jepang yang saat itu sudah mengepung kedua proklamator itu.
Pada Desember 1945, Kahar membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, dan membentuknya menjadi laskar andalan di bawah Badan Penyelidik Khusus, badan intelijen di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Kahar juga mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, karier Kahar di Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) makin menanjak.
Kahar, misalnya, dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Tapi, perjalanan karier Kahar ternyata tidak selamanya mulus. Ketika pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, Kahar tak ditunjuk sebagai pemimpin.
Yang ditunjuk adalah Letkol J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan. Pada 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar menuntut Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10 batalyon, secara otomatis dimasukkan ke dalam APRI dan menjadi Brigade Hasanuddin dibawah kepemimpinannya.
Tapi, Kolonel Kawilarang, Panglima Wirabuana saat itu, menolak. Kekecewaan Kahar pun memuncak. Ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Menurut Anhar Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, rentetan kegagalan itu membuat Kahar merasa gagal mengembalikan siri pesse (harga diri)-nya sebagai orang Bugis-Makassar.
Menurut analisis Anhar Gonggong, setelah 1953 itu, selain akumulasi siri pesse, ideologi Islam juga sudah mulai membentuk jati diri Kahar. Pada 3 Agustus 1953, Kahar dan KGSS-nya menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo. Belakangan, pada 1962, Kahar membentuk RPII, yang terpisah dari DI/TII Kartosoewirjo.

Penghargaan Khusus untuk Corry
Kekerasan hati Kahar sebagai pejuang membuatnya menjadikan pernikahan juga sebagai bagian dari perjuangannya. Istri pertamanya, Siti Walinah, ia ceraikan karena tidak mau diajak berjuang di Sulawesi. Banyak pernikahan Kahar lebih dilandasi kepentingan perjuangan dari kepentingan lain. Secara keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri, dan 15 anak.
Tapi, dari semua istrinya, tampaknya Corry van Stenus-lah yang memiliki kedudukan paling istimewa. Sebab, sebagai istri, Corry mengizinkan Kahar menikah lagi berkali-kali. Alasan masing-masing pernikahan Kahar memang berbeda-beda. Boleh jadi, Corry mengerti dan menyetujui semua alasan Kahar menikahi banyak istri.
Ketika menikahi Corry van Stenus, misalnya. Kahar bermaksud mengislamkan dan mengajaknya ikut berjuang. Ketika memutuskan menikahi Siti Hami –yang dinikahi Kahar pada usia 60 tahun– Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai perjuangannya. Siti Hami memang memiliki kebun kopra sangat luas.
Istri lain Kahar, Siti Habibah, dinikahi untuk menjaga kehormatan istri panglimanya yang gugur dalam pertempuran. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai simbol pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Walau bukan berasal dari kelompok bangsawan, Kahar sangat dihormati, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk dipersunting.
Tapi, Kahar justru memilih Daya sebagai istri terakhirnya. Daya adalah gadis berusia 15 tahun dari suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan Bugis. Yang unik, Corry-lah yang melamar beberapa istri Kahar lainnya. Corry-lah yang melamar Siti Hami untuk Kahar. Bahkan, Corry memandikan Daya dengan tangannya sendiri, sebelum dinikahkan.
Untuk semua pengabdian Corry, Kahar punya penghargaan khusus. Dalam ceramah di depan para pendukungnya, Kahar selalu menegaskan, ”Sepeninggalku, kalian boleh menikahi semua bekas istriku, kecuali Corry. Haram hukumnya, karena riwayat hidup saya akan menjadi rusak.” Dan terbukti, dari semua istri Kahar, yang tidak menikah lagi hanya Corry van Stenus.

Meninggalkan 20 Buku
Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.
Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Apalagi, Kahar selalu menggodanya. Suatu kali, Kahar pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah penggaris itu dikembalikan Kahar.
Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. ”Saya pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi,” Corry mengenang. Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.
Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil Dapelaaf. ”Kamu mau selamat atau tidak?” Kahar bertanya. ”Lebih baik mundur saja. Saya yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.”
Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.
Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan, dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry pun kemudian tak terpisahkan.
Walau tak banyak bertemu dengan Kahar, hampir semua anak Kahar merasa dekat dengan sang ayah. Abdullah Mudzakkar, anak bungsunya dari Corry, punya kenangan khusus tentang ayahnya. Seingat dia, ke mana-mana Kahar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi dokumen, Al-Quran, hadis, dan buku harian.
Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan Kahar cukup baik. Misalnya, tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan Jenderal A.H. Nasution (almarhum).
Read more...